Gonjang Ganjing UMR 2013…

Tahun 2012 sebentar lagi akan berakhir, dan segera prospek UMR 2013 (sekarang diubah menjadi Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kota/Kabupaten) menjadi ramai dibicarakan. Sejumlah wakil pekerja menyuarakan agar UMP DKI Jakarta dinaikkan menjadi Rp 2,4 jutaan, atau naik secara dramatis dibanding UMP tahun ini yang angkanye berkisar pada Rp 1,5 juta per bulan.

Menjalani hidup di kota besar seperti Jabodetabek dengan dua anak, hanya dengan gaji 1,5 jutaan memang amat menghimpit. Empati sedalam-dalamnya harus selalu dihadirkan bagi perjuangan mereka menuntut kenaikan gaji (saya kadang bete terjebak kemacetan gara-gara demo buruh, namun saya kemudian ingat : anak-anak mereka di-rumah mungkin tengah menangis lantaran ayahnya tak lagi sanggup membeli nasi).

Di pagi yang mendung ini, ditengah beban biaya hidup yang kian menghimpit, ditengah kegalauan lantaran uang gaji yak pernah lagi bisa ditabung, kita mau membedah tema itu : tentang upah minimal yang selayaknya dihaturkan pada jutaan pekerja Indonesia yang tercinta.

Oke, oke, saya sudah sering mendengar kenapa usulan kenaikan UMP menjadi 2 jutaan per bulan itu tidak masuk akal. Pasti banyak perusahaan yang tidak sanggup, tutup usahanya (atau relokasi ke negara lain), dan akibatnya : PHK, dan akhirnya pengangguran justru melesat.

Sayangnya, alasan itu klise, dan berangkat dari pola pikir yang linear (bukan pola pikir lateral). Maksud saya, tak ada salahnya kita sedikit memberikan ruang bagi pandangan yang berbeda, yang mungkin lebih fresh, dan lebih inovatif (lantaran tidak terjebak linear thinking).

Maka, mari kita simak argumen kenapa usulan kenaikan UMR yang signifikan layak dipertimbangkan.

Argumen pertama : memberikan gaji yang memadai pada pekerja dan buruh adalah salah satu pilar penting untuk membangun kemakmuran bangsa (sejarah kebangkitan ekonomi Amerika dipicu oleh kenaikan upah buruh yang dramatis pada era tahun 50-an).

Sebabnya sederhana : dengan gaji yang memadai, kalangan buruh akan punya daya beli yang lebih bagus, dan secara kolektif hal ini akan memicu demand produk secara dramatis (dan persis inilah yang terjadi pada kebangkitan ekonomi Amerika di era tahun 50an dan ekonomi Korea di tahun 80-an yang mencengangkan itu).

Kalau jutaan buruh upahnya pas-pasan, daya beli mereka jatuh, lalu siapa yang akan membeli produk-produk yang dihasilkan pabrik itu?

Sebaliknya, dengan gaji memadai, para buruh akan memiliki consumption and buying power yang lebih baik. Dan percayalah : dalam jangka panjang ini JUSTRU akan menguntungkan para pengusaha (sebab permintaan akan produk-produk mereka pasti akan meroket).

Argumen kedua : UMR yang tinggi akan menggedor kreativitas pengusaha untuk mulai menciptakan high value added products dan juga level produktivitas pekerjanya.

Justru disini UMR yang tinggi menjadi pendorong the magic of innovation : pengusaha yang selama ini hanya maunya jadi “pengusaha kelas tukang jahit” atau hanya memproduksi barang-barang komoditi, dipaksa untuk mengembangkan high valued added product yang memberikan profit margin yang lebih tinggi (supaya bisa membayar UMR).

Transformasi tersebut amat krusial kalau kita tak ingin pengusaha tanah air berjalan di tempat. Dan ingatlah selalu : transformasi semacam ini yang akan membuat negeri ini tidak masuk dalam “middle income nation trap”.

UMR yang tinggi lantas tak akan pernah dikenang sebagai kutukan sejarah, namun justru “berkah terselubung” bagi kebangkitan inovasi ekonomi negri ini.

UMR yang tinggi juga akan memaksa pengusaha untuk inovatif dalam meningkatkan level produktivitas pekerjanya. Again, UMR yang tinggi mestinya dianggap sebagai PELUANG, bukan PROBLEM : peluang yang menantang pengusaha untuk menemukan cara-cara inovatif melejitkan produktivitas.

Mindset pengusaha harusnya begini : kalau UMR naik 50%, namun level produkvitas naik 300%, why not. Pan pengusaha katanya orang-orang yang berjiwa kreatif.

Argumen yang terakhir : puluhan riset empiris dengan ribuan responden perusahaan memberikan kesimpulan yang terang benderang. Bahwa semua perusahaan menjadi hebat lantaran memberikan upah dan gaji yang amat memadai bagi buruh/pekerjanya.

Dilema ayam sama telor duluan mana terpecahkan disini : riset itu menunjukkan bahwa perusahaan harus memberikan gaji yang memadai LEBIH DULU, baru kemudian kinerja bisnis mereka akan melesat.

Bukan sebaliknya : mari kita kerja keras dulu, gaji apa adanya dulu ya, baru nanti kalau profit bagus, kita akan naikkan gaji ya (masih dengan embel-embel, tapi ndak janji lho). Sekali lagi : terus guwe mesti harus bilang wow gituh?

Konon, pengusaha atau entrepreneurs adalah risk takers dan collective of innovative minds yang selalu haus dengan tantangan. Kalimat itu hanya akan menjadi fatamorgana, kalau etos inovasi yang legendaris itu tidak dihadirkan untuk mengatasi isu UMR ini.

Brands Performance

Editor senior Harvard Business Review (HBR) Regina Fazio Maruca pada tahun 1994 di HBR dan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul HBR on Brand Management menceritakan tentang shampoo merek La Shampoo yang mengalami kesulitan. Judulnya menarik Can This Brand be Saved?. Dapatkan merek ini diselamatkan? Diceritakan bahwa Shampoo yang diluncurkan pada tahun 1975 dan ditargetkan untuk wanita antara 15 – 30 tahun dan memiliki slogan dari awal “La Shampoo: For the look and feel of france” ini sebelumnya kinerjanya bagus, akan tetapi sejak tahun 1989 terus mengalami penurunan.

Kasus yang sama barangkali terjadi dengan banyak merek diIndonesia, yang semula sangat menguasai pasar, akan tetapi di satu titik tiba-tiba pertumbuhannya berhenti, bahkan mengalami penurunan dan terus menurun sampai akhirnya disalib oleh merek lain yang sebelumnya sama sekali belum terdengar. Kasus yang terjadi dalam 5 tahun terakhir ini misalnya bagaimana kuatnya oli Mesran sampai dengan tahun 2002, dan menurut penelitian MARS dari tahun 1994, tidak ada satupun merek oli yang mampu melawan karena memang kebijakan pemerintah juga menopang keberhasilannya. Akan tetapi ketika pasar dibebaskan dan siapapun boleh masuk ke pasar oli, tiba-tiba ada Oli merek Top 1. Mula-mula pasar oli sepeda motor dulu yang dikuasai oleh Top 1, kemudian baru kendaraan roda 4.

Apa yang sesungguhnya terjadi ? apakah menangnya Top 1 dalam persaingan dengan Mesran tersebut terjadi secara tiba-tiba atau dalam kurun waktu yang pendek sehingga Mesran tidak siap untuk menghadapinya ? Sepertinya tidak. Pindahnya seorang konsumen dari sebuah merek ke merek yang lain, apalagi produk tersebut termasuk semi-high involvement, memakan waktu yang tidak sedikit. Ada sebuah proses yang secara teratur dijalankan oleh konsumen sampai akhirnya mereka memutuskan menggunakan merek tertentu. Konsumen selalu rasional dalam mengambil keputusan, akan tetapi variabel yang digunakannya sebagai dasar pengambilan keputusan seringkali tidak dipahami oleh marketer.  (Asto S. Subroto)

 

GDE Error: Unable to load requested profile.