Fitri 1433 H, edisi Consumer 3-000

Perjalanan pertumbuhan ekonomi negeri ini tampaknya kian melaju sumringah (sekedar catatan, pertumbuhan ekonomi kita triwulan II tahun 2012 ini adalah yang tertinggi nomer dua di dunia setelah China). Batas atau treshold pendapatan per kapita USD 3000 telah ditembus beberapa bulan silam (kini angkanya sudah bergerak naik ke USD 3750an).

Angka Pendapatan Per Kapita USD 3000 adalah angka keramat. Sejarah mencatat, begitu sebuah negara menembus angka itu, biasanya akan terjadi ledakan kemakmuran yang meroket.

Yang tak kalah penting : gelindingan roda ekonomi bisnis yang terus menderap itu melahirkan apa yang disebut sebagai revolusi konsumen kelas menengah Indonesia. Fakta apa saja yang menggambarkan middle class consumer revolution ini, dan apa implikasinya bagi jagat bisnis, akan segera kita sajikan dalam hidangan Senin pagi ini.

Dalam kaitannya dengan hal diatas, kini telah terbit sebuah buku dahsyat. Rekan saya pas jaman jadi aktivis mahasiswa dulu, Yuswohady baru saja merulis sebuah buku yang judulnya saya ambil menjadi judul tulisan ini : Consumer 3000 : Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia. Eks konsultan senior MarkPlus ini dengan sangat mengesankan mengelaborasi sejumlah fenomena yang menandai gelombang konsumen kelas menengah Indonesia ini.

Sebelum mengulas lebih jauh tentang gelombang kelas menengah ini, ada baiknya kita mencoba mendefine siapa saja mereka. Saya sendiri punya definisi yang sederhana namun mungkin menggambarkan siapa itu middle class consumer : yakni mereka yang penghasilannya berada pada angka 5 juta sd 20 juta per bulan.

Dan seiring dengan laju pertumbuhan bisnis, jumlah masyarakat yang mempunyai pendapatan sebesar itu rasanya makin terus menanjak. Pelan tapi pasti, golongan kelas menengah baru ini kemudian menciptakan gelombang konsumen yang meledakkan demand pada berbagai produk bisnis.

Fenomena itu setidaknya bisa kita catat melalui tiga observasi berikut.

Fenomena yang pertama akan saya sebut sebagai : Avanza Effect. Benar, sebutan ini merujuk pada merek mobil Toyota Avanza. Dan ini dia faktanya : sejak diluncurkan tahun 2004 lalu, mobil ini telah terjual lebih dari 1 juta unit (bukan kebetulan kalau mobil ini juga disebut sebagai mobil sejuta umat).

Avanza Effect adalah sebuah simbolisasi tentang ledakan konsumen menengah baru. Tentang lahirnya gelombang para pekerja atau keluarga muda yang untuk pertama kalinya mampu membeli sebuah mobil (lantaran penghasilan mereka yang telah meningkat).

Tak pelak, fenonema penjualan mobil Avanza yang terus meroket itu (dan tertinggi sepanjang sejarah otomotif di tanah air) menjadi penanda bahwa jumlah konsumen kelas menengah terus membesar volumenya. Ledakan penjualan Toyota Avanza hampir tidak mungkin terjadi tanpa ledakan konsumen kelas menengah di tanah air.

Fenomena # 2 : Indomaret and Starbucks Effect. Dalam bukunya, Yuswohady menyebut fenomena ini sebagai modern retail explosion. Ya, kini dimana-mana kita melihat hadirnya modern outlet yang mencoba memenuhi dahaga konsumen kelas menengah baru : mulai dari gerai Indomaret, Alftamart, Seven Eleven, Apotik 24 Jam, Ace Hardaware, hingga Starbucks, J-Co dan Dunkin Donats.

Dimana-mana kita melihat gerai-gerai modern tersebut terus bermunculan. Dan ajaibnya : semua selalu ramai (dalam setiap penerbangan pagi, saya selalu mampir ke Starbuck di Terminal 2F, dan astaga, gerainya nyaris selalu penuh).

Sekali lagi, modern outlet explosion itu hanya bisa terjadi lantaran gelombang konsumen kelas menengah terus bergerak dengan kecepatan yang relatif tinggi.

Fenomena # 3 : BlackBerry and Twitter Effect. Kita sudah tahu, penjualan Blackberry di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Kita juga tahu, pengguna twitter dan FB di tanah air termasuk yang paling besar di dunia. Sementara penetrasi pengguna internet di tanah air terus melonjak; dan karenanya konsumsi bandwith meroket.

Siapa driving force dibalik semua hal diatas? Sudah pasti mereka adalah konsumen kelas menengah Indonesia. Mereka yang punya penghasilan relatif tinggi, berpendidikan, dan sadar akan kemajuan teknologi. Dan hampir pasti, Anda merupakan salah satunya.

Demikianlah : tiga fenomena diatas secara serentak dan simultan menjadi penanda hadirnya gelombang konsumen kelas menengah di republik ini. Semuanya dibahas secara memikat di buku yang baru akan terbit bulan depan ini. Jika terbit, buku ini layak dibaca dan dicermati isinya.

Lalu, apa implikasinya bagi Anda. Simpel saja : kalau saja Anda punya kreativitas untuk menciptakan sebuah produk/jasa yang bisa “berselancar” diatas gelombang konsumen kelas menengah ini, Anda pasti akan jadi jutawan.

Sekali lagi benar kata seorang saudagar : mencari uang di negeri ini semudah mengorek upil. Sebab milyaran uang terus dibelanjakan oleh kaum konsumen kelas menengah baru ini, setiap hari, selama 24 jam dalam setahun.

So, once again : be creative, then create something profitable.

Sebab jika Anda sudah bisa menjual produk yang profitabel, dan lalu jadi jutawan, tentu Anda bisa memberangkatkan kerabat satu kampung untuk merayakan umroh lebaran di Mekah. Betapa indah dan mulianya. Minal Aidizin wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

(from blog strategi Yodya)

7 Habits of Highly effective People

Agar kehidupan Anda bisa terus tumbuh dan berkembang, ada baiknya Anda selalu peduli dengan proses personal development. Inilah sebuah ilmu yang ingin membuat potensi dan jatidiri Anda bisa terus melesat : memberikan kontribusi dan karya yang keren bagi lingkungan kerja Anda.

Nah, salah satu buku tentang personal development yang amat legendaris adalah yang bertajuk : 7 Habits of Highly effective People. Meski sudah cukup lama diterbitkan, isi buku ini saya kira tetap relevan hingga hari ini. Timeless advice from personal development guru, Stephen Covey.

Tanpa ditemani secangkir teh hangat seperti biasanya, saya ingin mengajak Anda semua untuk menelisik isi buku legendaris itu. Mencoba merasapi beberapa keping pelajaran yang penuh makna. For your personal development and personal growth.

Buku ini seperti judulnya, meng-eksplorasi tuju pilar habit yang layak dipeluk erat manakala kita mau menjadi insan yang produktif.

Tiga habits yang pertama berkaitan dengan Self Mastery. Tiga habit berikutnya adalah tentang Interdependence. Dan habit ketuju berkelindan dengan proses Self Renewal. Mari kita ulik satu per satu.

SELF MASTERY
Habit # 1 : Be Proactive. You create your own destiny. You design your own history. Semangatnya adalah agar kita selalu proaktif untuk merajut arah masa depan kita sendiri. Berani mengambil inisiatif, and take full responsibility.

Sikap pasif dan membiarkan lingkungan sekitar membentuk arah hidup kita, hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang kering akan kontribusi. Sikap pasif juga akan membikin hidup ini terasa garing. Hanya bikin bete gitu lhoh.

Habit # 2 : Begin with The End in Mind. Lukislah ending goals yang hendak Anda bentangkan dalam kanvas kehidupan Anda yang terus berjalan itu. Bentangkan blueprint yang jelas dan menggugah tentang arah perjalanan hidup Anda : baik dalam personal ataupun profesional life.

Mulailah derap kaki Anda — dalam segala aktivitas – dengan sebuah tujuan (ending points) yang solid.

Sebab dengan itu, proses perjalanan itu akan berjalan dengan penuh harapan yang berkibar-kibar. Dan, bukankah segenggam harapan itu yang bisa terus melecut diri kita untuk berlari?

Habit # 3 : Put First Things First. Ah, betapa kita sering kehilangan waktu untuk hal-hal kecil yang tidak penting. Interupsi tanpa henti yang tidak jelas prioritasnya. Ditengah hiruk pikuk kesibukan yang terus menyergap, acapkali kita kehilangan arah tujuan yang justru lebih penting.

Jangan-jangan Anda menghabiskan waktu 80% Anda untuk sesuatu yang trivial (ndak penting); dan hanya 20% untuk sesuatu yang sesungguhnya menjadi prioritas utama.

Segera balik-kan formula itu. Put your first things first.

INTERDEPENDENCE
Habit # 4 : Think Win – Win. Di lingkungan kantor, acapkali kita melihat situasi win – loss. Ego (entah ego individu atau ego bagian) dan kepentingan diri ternyata acapkali begitu menyeruak. Spirit ini niscaya tak akan pernah membawa kita menuju kejayaan yang sustainable.

Hanya semangat win and win yang akan mengantarkan kita menuju level produktivitas yang lestari.

Habit # 5 : Seek First to Understand, Then to be Understood. Dan semangat win-win dalam pilar sebelumnya, hanya akan terengkuh jika kita mau melakukan habit kelima ini. Senantiasa mau mendengarkan beragam perspektif. Merajut dialog. Membangun empati. Berkelindan dan berjibaku untuk merumuskan kesaling-pengertian yang konstruktif.

Habit # 6 : Synergy. Bersatu kita teguh, bercerai kita kawin lagi. Sorry salah, maksudnya kita akan runtuh.

Ya, habit keempat dan kelima akan bermuara pada elemen ini : yakni tentang kekuatan sinergi, tentang indahnya membangun kerjasama tim yang kuat, dan tentang spirit untuk berbagi peran dan kontribusi demi tergapainya tujuan bersama.

SELF RENEWAL
Habit # 7 : Sharpening the Saw. Habit yang terakhir ini mengajak kita semua untuk terus mengasah ketrampilan dan pengetahuan kita. Becoming a lifetime learner. Sebab everyplace is a school and everyone is a teacher. #wuih-keren-bener-kalimatnya#

Itulah 7 Habits yang layak kita patrikan dalam sekujur sukma kita. Jika 7 pilar ini bisa terus kita praktekkan dengan istiqomah, niscaya kita semua bisa menjelma menjadi insan yang jauh lebih produktif.

Dan persis di bulan penuh barokah ini, kita punya kesempatan bagus untuk merenungkan tuju pilar itu, dan kemudian take action to implement those good habits.

(sumber Yodya A, Blog Strategy)

Mengukur Metrik Pemasaran

Menurut Dave Reibstein, penulis buku called Marketing Metrics, 50+ Metrics Every Executive Should Master, perusahaan seringkali salah dalam menggunakan metric-metrik pemasaran. Misalnya, metrik yang paling umum digunakan, yaitu market share (pangsa pasar). Perusahaan seringkali melihat pada pangsa pasar untuk mengevaluasi bagaimana kinerja mereka. Namun kadang digunakan salah jika pendefinisiannya kurang jelas. Mungkin kita berbicara tentang pangsa pasar dalam rupiah, yaitu porsi pendapatan dalam industri, sementara orang lain mungkin saja berbicara mengenai pangsa pasar unit, yaitu jumlah unit barang yang terjual.

Kedua, Reibstein mengemukakan bahwa ketika Anda menghitung pangsa pasar, maka ada numerator, yaitu penjualan dan denominatornya yaitui penjualan industri. Namun pertanyaannya adalah, apa definisi industri Anda? Misalnya Anda berada pada bisnis printer dan berpikir bahwa pangsa pasar Anda dalam industri printer, namun bisa saja pesaing melihat pangsa pasar Anda adalah printer laserjet, misalnya.

Market Share adalah salah satu metric yang terpenting dalam mengukur efektivitas pemasaran. Reibstein mengungkapkan ada dua lagi metric yang terpenting, yaitu: share of requirement dan customer satisfaction (kepuasan pelanggan).

Share of requirement adalah berapa pangsa pasar merek Anda dari kategori total yang dilakukan oleh repeat buyer. Ini menunjukkan loyalitas pelanggan pada merek Anda. Jika share requirement tinggi, maka cara terbaik untuk berkembang adalah dengan memperoleh pelanggan baru. Namun jika share requirement rendah, maka Anda bisa memanfaatkan pelanggan yang sudah ada dan menjual lebih kepada mereka sehingga mereka membeli dalam porsi yang lebih banyak.

Kemudian metric ketiga yang juga penting adalah kepuasan pelanggan. Tentu saja ini penting karena Anda pasti ingin tahu sebaik apa Anda melayani pelanggan. Metrik ini juga penting untuk memperkirakan seberapa loyal para pelanggan Anda.

Inovasi Inovasi dan Inovasi

Artikel yang sedang anda seduh awal minggu ini adalah sengaja kita keruk dari strategi renyah seorang konsultan bisnis handal. Hempasan jemarinya sangat piawai dalam meronce setiap kata sehingga bersambung menjadi kalimat baru seputar bisnis. Seperti apakah artikelnya, mari kita waos bersama;

Empat minggu lalu, Nokia mengumumkan akan mem-PHK 10 ribu karyawannya di berbagai belahan dunia. Nokia Lumia yang digadang-gadang akan menyelamatkan mereka, ternyata termehek-mehek dalam lorong kekalahan. Asap dupa dan kemenyan kematian pelan-pelan meruap : Nokia mungkin akan segera beristirahat panjang dalam taman kuburan.

Lalu, RIM produsen Blackberry dua hari lalu membentangkan berita kelam : mereka juga akan mem-PHK 5000 karyawannya. Penjualan mereka anjlok 50 % dibanding tahun lalu. Jika sebuah bisnis mengalami penurunan penjualan hingga 50%, itu artinya harus segera masuk ruang ICU. Dan jika tak tertolong, Blackberry juga akan wafat dalam taman kesunyian yang menyakitkan.

Nokia dan Blackberry. Dua raksasa yang tampak begitu perkasa itu tengah limbung. Tertatih-tatih menapak jalan terjal kompetisi yang begitu brutal. What went wrong? Dan pelajaran bisnis apa yang bisa dipetik dari drama robohnya dua legenda ini?

Persaingan dalam dunia gadget dan smartphone memang begitu keras. Namun ada sebuah tesis menarik dalam industri ini : hanya mereka yang menguasai aspek software dan hardware sekaligus yang akan menguasai dunia digital masa depan.

Dan sayangnya, hanya ada satu perusahaan yang dahsyat dalam dua elemen itu : baik software / hardware. Nama perusahaan itu Apple. Dan faktanya, perusahaan inilah yang kemudian memporak-porandakan pangsa Nokia dan BB di seluruh dunia. Bersama Samsung, Apple kini menguasai 75 % pangsa pasar smartphone global.

Nokia menjadi korban pertama. Lalu kini penjualan BB di pasar USA dan Eropa mulai meluncur drastis lantaran di-koyak oleh kehadiran iPhone dan Samsung Android. Sebentar lagi, Blackberry mungkin akan tersingkir. Itu artinya PIN BB Anda akan segera masuk museum : menjadi renik-renik peninggalan sejarah masa silam. Doh.

Ada tiga pelajaran tentang inovasi bisnis dari drama ini – berderat lesson yang bisa Anda petik, apapun jenis industri yang tengah Anda geluti saat ini. Sebab inovasi memang tak mengenal jenis bisnis. Either you innovate or die.

Innovation Lesson # 1 : Core Competencies will Win. Inovasi akan selalu dimenangkan oleh mereka yang menguasai core competency dalam industrinya. Dalam kasus industri gadget, core competencies itu adalah pada penguasaan dua bidang sekaligus : hardware design dan software. Siapa yang menguasai dua aspek ini akan menang.

Dalam industri/bisnis yang Anda tekuni, apa core competencies yang paling dibutuhkan? Dan apakah tim Anda memiliki kapabilitas yang lebih unggul dibanding kompetitor dalam penguasaan core competencies tersebut?

Dua pertanyaan kunci itu kudu dijawab dengan tuntas dan memuaskan. Sebab jika tidak, nasib Anda bisa seperti Nokia yang limbung itu.

Innovation Lesson # 2 : Collaborative Innovation. Kalau kita tidak menguasai core competencies yang dibutuhkan dalam sebuah bisnis, tak ada salahnya kita melakukan kolaborasi dengan mereka yang memilikinya.

Contoh : Samsung sadar ia tak akan mampu melawan kompetensi software Apple. Karena itu ia segera melakukan kolaborasi dengan software Android milik Google.

Kolaborasi atau aliansi strategis tak pelak merupakan salah satu taktik kunci untuk memenangkan persaingan bisnis yang kian dinamis. Adakah peluang bagi Anda untuk melakukan aliansi bisnis dengan mitra lain yang saling menguntungkan? Yang akan membuat bisnis Anda bergerak to the next level?

Innovation Lesson # 3 : Speed. Speed. Speed. Dalam derap perubahan yang melaju dengan kencang, respon yang lamban (atau apalagi penuh birokrasi) akan membuat Anda tewas dilibas pesaing.

Kasus : Samsung beruntung cepat mengambil keputusan untuk aliansi dengan Android. Samsung juga cepat merespon gadget touch screen yang kini jadi tren global.

Nokia dan Blackberry amat lamban merespon dinamika itu. Terlalu banyak analisa. Terlalu lamban mengambil decision. Dan ketika keputusan diambil, ah, semuanya sudah terlambat.

Tim Anda juga mestinya menghargai the magic of SPEED ini. Jangan terlalu lama melakukan analisa (analisa terus kapan eksekusinya?). Jangan terlalu banyak rapat untuk mengambil keputusan (terlalu banyak rapat adalah simbol birokrasi). Too many meetings will kill your innovation speed.

Demikianlah tiga pelajaran inovasi bisnis yang bisa dipetik dari drama limbungnya Nokia dan Blackberry. Derap kompetisi bisnis terus berjalan. Dan untuk bisa menyusuri jalan panjang itu, ruh inovasi harus terus dikibarkan.

Error thrown

Call to undefined function create_function()