Kesalahan dalam Membangun Habit dan Perilaku Produktif

Pada akhirnya, perjalanan merajut bentangan kesuksesan itu mungkin amatlah sederhana. Just develop good habits, and you can change your life forever. Mau kaya? Rajinlah menabung. Mau pintar? Rajinlah belajar. Mau sehat? Rajinlah berolahraga. Mau masuk surga? Rajinlah shalat tahajud dan bersedekah.

Simple bukan? Ya, memahat kemakmuran dunia akherat itu memang sederhana. Yang rumit : bagaimana menginstal kata “RAJIN” itu dalam relung jiwa kita secara konstan.

Sajian renyah kali ini mau menghidangkan menu tentang 7 kesalahan fatal yang tanpa sadar acap kita lakukan, ketika mau membangun “sikap rajin”, habit dan perilaku produktif dalam hidup kita.

7 kesalahan atau mitos yang mau dipaparkan disini didasarkan pada riset perilaku yang ekstensif yang telah dilakukan oleh Stanford University Persuasive Lab (sebuah lembaga terkemuka yang dengan getol mempelajari seluk-beluk perilaku manusia). Dus dengan kata lain, daftar kesalahan ini bukan karangan belaka (atau sekedar opini bebas), namun proven, dan berbasis ribuan data empiris.

Mari segera kita telisik 7 error ini satu demi satu.

Mistakes # 1 : Relying on Willpower for Long Term Behavior Change. Ini kesalahan mendasar yang acap menjebak orang : ketika mau berubah, hanya mengandalkan willpower (kemauan pribadi).

Benar, kemauan itu penting, namun faktanya : cadangan kemauan orang itu amat terbatas. Dan kemauan kuat itu ternyata mudah menguap. Itulah kenapa banyak orang menggebu-gebu di awal, namun pelan-pelan pudar willpowernya. Banyak inisiatif perubahan yang kemudian gagal karena kesalahan ini.

Mistake # 2 : Attempting big leaps, instead of baby steps. Kesalahan ini terjadi lantaran kita terlalu ambius : oke mulai besok, saya mau lari pagi setiap hari selama 10 KM. Faktanya : mengubah habit jauh lebih sukses dengan goal yang simple dan kelihatannya kecil : oke mulai besok, saya mau jalan kaki 5 menit saja per 2 hari sekali.

Riset membuktikan, sasaran yang kedua ini akan JAUH lebih sukses dijalankan, dan pelan-pelan – ini ajaibnya – akan membesar dengan sendirinya (maksudnya, bulan depan naik menjadi 10 menit, terus 15 menit, dst)

Mistake # 3 : Ignoring how environment shapes behaviors. Ini benar-benar kunci : lingkungan Anda punya pengaruh besar terhadap habit dan perilaku Anda.

Ribuan motivator kelas dunia bisa didatangkan dari antah berantah, namun hasilnya tetap akan sama : sepanjang lingkungan Anda tidak di-redesain. Di desain supaya kompatibel dengan habit yang mau dibangun.

Mistake # 4 : Blaming Failures on Lack of Motivation. Ini lagi, kesalahan yang lazim terjadi. Sedikit-sedikit, menyalahkan motivasi ketika seseorang tidak mau berubah perilakunya.

Yang seharusnya dilakukan : melakukan rekayasa konteks, sehingga perilaku yang mau dibangun menjadi lebih mudah dilakukan (auto debet tagihan adalah contoh sempurna : merubah kemalasan orang membayar tagihan itu bukan dengan menasehati dia supaya bayar tepat waktu. Tapi cukup sediakan sistem yang membuat prosesnya mudah. Sim salabim, lahirlah : auto debet tagihan. Tapi banyak orang yang tulalit : terus saja menyalahkan motivasi pelanggan yang malas membayar tagihan TANPA berpikir menyediakan “rekayasa konteks” untuk mengubah perilaku).

Mistake # 5 : Believing that Information Leads to Action. Nah ini kesalahan yang dilakukan orang tulalit diatas itu : terus saja memberikan wejangan/nasehat/informasi, seolah-olah ini akan mendorong perubahan perilaku. Salah besar.

Nasehat dan informasi verbal itu nyaris tidak punya dampak pada perubahan perilaku. Mengubah perilaku hanya dengan “sosialisasi tentang pentingnya blah blah blah”, hanya akan membuat Anda frustasi.

Mistake # 6 : Focusing on Abstract Goals. Saya ingin sehat. Saya ingin kaya. Ini tujuan yang terlalu abstrak dan menurut riset, tidak mendorong perubahan perilaku.

Mulai besok saya akan sit up 7 kali per hari. Mulai bulan ini saya harus menabung 250 ribu/bulan. Sasaran yang lebih konkrit semacam ini JAUH memberikan dampak bagi perubahan perilaku.

Mistake # 7 : Assuming that Behavior Change is Difficult. Kesalahan terakhir ini terjadi ya karena itu tadi : terlalu mengandalkan willpower dan motivasi (yang cadangannya tipis) dan juga tidak dibangun berdasar strategi yang tepat.

Padahal mengubah perilaku itu akan jauh lebih mudah kalau saja kita bisa menjalankan strategi yang dipaparkan diatas : mulailah dengan perubahan kecil, ciptakan sasaran yang konkrit, dan desain sistem atau konteks yang mendukung perubahan perilaku (ingat : kasus auto debet diatas).

from sajian renyah : strategi marketing manajemen blog

 

Business DECISIONS In Indonesia

Business DECISIONS. Pada akhirnya, parade sejarah bisnis yang begitu panjang di jagat ini selalu berawal dari sebuah keputusan. Atau keberanian untuk mengambil sebuah keputusan bisnis.

Ya, sebelum semua rencana dikibarkan dan berjurus eksekusi dipahatkan, segalanya dimulai dari sebuah decision. Itulah kenapa KEPUTUSAN itu mahal harganya, kalau saja kita paham akan dampak yang diakibatkannya : for better or worse.

Sajian kali ini akan menjelajahi 4 Best Business Decisions yang pernah diambil dalam jagat bisnis negeri ini. Empat keputusan bisnis legendaris yang telah memberikan warna dalam bentangan sejarah bisnis di tanah air.

Silakan duduk baik-baik. Minum dulu segelas teh hangat, dan simak kisah beragam keputusan bisnis ini dengan seksama.

Orang suka lupa tentang betapa pentingnya sebuah keputusan, dan betapa mahalnya the price of decisions. Seperti misalnya, keputusan yang diambil dewan komisaris Apple tahun 1996 untuk menghire kembali Steve Jobs sebagai CEO Apple. Keputusan – yes, this very decision – yang membuat Apple menjadi seperti sekarang.

Dalam lansekap bisnis di tanah air, berikut empat keputusan bisnis yang mungkin bisa dicatat sebagai keputusan legendaris.

Business Decision # 1 : Keputusan Grup Djarum untuk membeli mayoritas saham Bank BCA yang nyaris kolaps saat krismon 1998. Konon kabarnya keputusan ini diambil hanya dalam hitungan hari (oleh keluarga Hartono Djarum). Keputusan yang berani (mengingat kondisi Bank BCA pada saat puncak krisis yang nyaris dilanda panic rush); namun juga sebuah keputusan visioner yang dibangun berdasar kepala dingin ditengah gonjang ganjing krisis moneter.

Apapun, keputusan ini jika dihargai dengan uang mungkin setara dengan 10 trilyun. Sebab keuntungan yang didapat Djarum dengan membeli BCA memang minimal seharga jumlah tersebut; dan ini masih akan terus berjalan hingga BCA masih hidup di bumi Nusantara (dan ini mungkin hingga 200 tahun yang akan datang). Saya menyebut keputusan ini sebagai : 10 Billion Business Decision.

Business Decision # 2 : Keputusan Chairul Tanjung untuk “membujuk” Ishadi SK menjadi CEO TransTV. Kini TransTV (dan sister company-nya : Trans7) telah menjadi televisi top di tanah air, dengan profit ratusan milyar per tahun (juga dengan gebyar acara TV yang rancak).

Siapa dibalik semua kejayaan TransTV ini? Jawabannya mudah : semua berawal dari tangan dingin Ishadi SK, sang master televisi yang menjadi arsitek kejayaan TransTV saat ini.

Tapi yang lebih jenius adalah Chairul Tanjung : keputusannya untuk meng-hire Ishadi SK adalah eksemplar sempurna tentang the price of great business decision. Human capital decision yang layak dikenang dengan penuh sukacita.

Business Decision # 3 : Keputusan Yamaha untuk memperkenalkan skutik Mio pada tahun 2001. This is an amazing business decision : keputusan ini yang benar-benar menjadi titik balik amat dramatis bagi kinerja Yamaha di tanah air (penjualannya berlipat 10 kali setelah keputusan yang jenius itu).

Keputusan mengusung skutik Mio sejatinya merupakan sebuah keputusan yang penuh risiko : pada tahun itu skutik sama sekali bukan hal yang familiar bagi pengguna motor (Honda sendiri ketika itu agak mencibir keputusan Yamaha mengusung motor skutik).

Tapi sejarah ternyata memihak Yamaha. Lagi : contoh betapa sebuah keputusan bisnis bisa mengubah nasib secara mengejutkan.

Business Decision # 4 : Keputusan Tirto Utomo membangun sebuah bisnis yang melegenda. Sebuah keputusan yang dipicu oleh hal yang amat sederhana : suatu saat di tahun 1973, Utomo malu ketika tamu asing-nya sakit diare gara-gara minum air putih rebusan yang dibikin oleh office boy di kantornya.

Insiden yang memalukan itu memicu Utomo muda untuk membangun pabrik air mineral yang higienis. Ia mencari informasi hingga ke luar negeri (ingat, saat itu belum ada Google). Setelah semua informasi didapat, ia resmi mendirikan pabrik air mineral pertama di Indonesia pada tahun 1974.

Aqua. Begitu ia memberi nama pada produk yang ia jual. “Aqua Spectacular Decision” : another sample of great business decision.

Contoh empat decisions diatas, dengan segera menunjukkan : bahwa keputusan/decision  sejatinya merupakan embrio awal yang amat vital bagi siasat untuk merajut kejayaan. Keputusan yang tepat mungkin akan bernilai trilyunan. Sebaliknya juga sama : keputusan yang salah bisa juga membuat bisnis rugi ratusan milyar.

Now look at your own life : adakah Anda pernah atau punya rencana untuk mengambil sebuah keputusan bisnis/karir yang amat penting bagi hidup Anda?

Decide brilliantly. And decide wisely.

Teaching Sales

Teaching Sales

Great sales professionals are scare and getting scarcer” Authors: Suzanne Foget, David Hoffmeister, Richard Rocco, Daniel P

Diulas oleh Jhon Hardi

1.1.   Paradigma lama terkait Pendidikan Ilmu Menjual (Sales)

Artikel ini berusaha menggungah kesadaran perguruan tinggi untuk mendesain kurikulum dan membuka program-program pendidikan tentang penjualan. Hal ini mengingat fakta bahwa di sebagian besar sekolah bisnis kelas dunia tidak banyak ditemukan mata kuliah terkait penjualan, bahkan ditingkat Master of Business Administrasion hanya ada 1 mata kuliah manajemen penjualan, hal ini secara implisit menunjukkan bahwa pendidikan penjualan tidak penting. Salah satu alasan karena adanya paradigma bahwa seorang penjual (salespersons) dilahirkan dan bukan dibentuk sehingga mereka sangat meragukan keberhasilan pendidikan yang mengajarkan tentang menjual. Hasil dari pendidikan menjual ini masih diragukan tidak hanya di Indonesia, bahkan diluar negeri. Menurut Suzanne Fogel dkk (2012) menyatakan bahwa dari 479 program bisnis yang diakreditasi oleh Advance Collegiate Schools of Business, hanya 101 yang memiliki kurikulum penjualan dan hanya satu yang menawarkan gelar MBA dalam bidang penjualan salesoriented. Setelah melalui proses pendidikan menjual, siswa akan menjadi apa atau bagaimana? Pertanyaan tentang hasil yang dapat diukur dari suatu proses pendidikan adalah hal yang wajar, karena menyangkut penggunaan sumberdaya yang tidak sedikit dan waktu yang cukup banyak dialokasikan dalam program.

Tulisan ini dibuat dari hasil pelajaran selama mendirikan dan menjalankan aktivitas penelitian dibawah Center for Sales Leadership di DePaul University yang pada intinya ingin menggugah kesadaran perguruan tinggi untuk meningkatkan investasi pendidikan penjualan. Hal ini ditunjang pula dengan  survey yang dilakukan  Chally Group (sebuah konsultan dibidang penjualan) sejak tahun 1998, yang menyebutkan bahwa banyak pembeli memilih pemasoknya bukan berdasar atas kualitas produk atau layanan ataupun harga, melainkan keahlian atau skill dari penjualnya (salespersons).

Pendidikan tentang ilmu menjual belum dianggap penting karena dipandang bagian kecil dari aktivitas pemasaran yang fokus utamanya hanya pada penjualan produk saja. Sehingga pendidikan tentang penjualan di perguruan tinggi tidak banyak membantu, karena pengetahuan tentang produk itu unik sehingga perusahaan perlu membuat pelatihan internal, sedangkan keahlian menjual dipandang sebagai sesuatu yang tidak bisa diajarkan. Paradigma penjualan belum dipandang sebagai profesi yang membanggakan. Pendidikan magister lebih memberikan pendidikan pemasaran dan manajemen secara umum yang sangat diperlukan ketika seseorang menduduki jabatan yang lebih tinggi diperusahaan. Disisi lain, pendidikan tentang penjualan dianggap sekedar mengajarkan aktivitas teknis menjual sehingga tidak terlalu dihargai.

1.2. Paradigma Baru Pendidikan Penjualan

Terminologi Sales 2.0 saat ini sedang berkembang memperkenalkan paradigma bahwa penjualan berarti memberdayakan konsumen. Konsumen tidak lagi menuntut penjual (salesperson) memahami tentang produk perusahaan dan bisa memproses pesanan tetapi lebih pada bagaimana membantu konsumen mendefinisikan masalahnya dan berusaha memberikan solusi secara lengkap. Untuk itu, pendidikan ilmu menjual diharapkan memberikan kemampuan yang lengkap mulai dari dasar-dasar keilmuannya (fundamental sales), metodologi, hingga ilmu penjualan tingkat lanjut (multibuyers methodologies, analytic process for customer development), manajemen penjualan, komunikasi bisnis, dan teknologi penunjang penjualan.

Paradigma baru ini dipandang sebagai kesempatan oleh perguruan tinggi kelas dunia untuk meningkatkan investasi dibidang pendidikan penjualan, dimana dari 45 program pendidikan yang ditawarkan pada tahun 2007 meningkat dua kali lipat ditahun 2011. Dunia perguruan tinggi makin percaya diri bahwa mereka dapat memberikan lebih kepada mahasiswa dibandikan dengan apa yang bisa diberikan oleh pelatihan di industri.

1.3. Menjual Pendidikan Ilmu Menjual

Paradigma lama terkait profesi penjual yang kurang bergengsi mempengaruhi animo mahasiswa  belajar dalam pendidikan ilmu menjual diperguruan tinggi. Keberlangsungan karir seorang penjual (sales person) juga diragukan, dan ini sudah menjadi stereotype publik. Pendidikan ilmu menjual terus berusaha meyakinkan mahasiswanya bahwa ini adalah suatu profesi yang sangat menarik, karena memberikan otonomi yang luar biasa kepada individu, serta ruang gerak yang sangat luas dan dapat menjalin jaringan dengan banyak pihak eksternal perusahaan. Penghargaan berupa uang juga sangat menarik karena ini berkorelasi dengan usaha individu masing-masing. Motivasi yang diberikan para dosen program penjualan di perguruan tinggi ini cukup dapat meningkatkan animo mahasiswa untuk yakin memilih profesi penjual setelah lulus. Tugas yang tidak kalah berat adalah meyakinkan industri untuk bermitra dengan perguruan tinggi. Karena sekolah bisnis merupakan sekolah professional, bukan akademis, maka industri memiliki tanggung jawab untuk menjaga para mahasiswa tetap bangga pada profesi yang dipilihnya. Saat ini banyak pusat-pusat penjualan sudah jenuh oleh aktivitas bisnis, namun sangat sulit untuk melakukan ekspansi karena salesperson yang langka. Apabila industri berkepentingan dengan menumbuhkan pusat-pusat penjualan, diharapkan industri dapat menjadi mitra aktif perguruan tinggi yang membuka program pendidikan penjualan.