Bulan suci ramadhan, adalah bulan yang dirindukan umat muslim di seluruh penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Bulan penuh berkah, magfiroh dan ampunan. Bahkan dikatakan setiap detik waktu di bulan ramadhan, Allah SWT’ melipatgandakan kenikmatan bagi umat muslim yang menjalankan ibadah puasa dengan benar. Yang dimaksud benar adalah sesuai syariat tuntunan agama Islam. Puasa yang tidak hanya menahan makan minum serta hawa nafsu namun lebih dari itu seperti menahan dari situasi dan kondisi sosial yang terjadi dilingkungan. Sudah menjadi pemandangan yang kerap dijumpai, dilihat dan dirasakan oleh masyarakat atau kita semua, keramaian kemeriahan bulan ramadhan tidak hanya di mushola atau masjid namun di pasar dan pusat perbelanjaan, toko, gerai, ritel, supermarket, hypermart ikut terimbas dengan momen bulan ramadhan, itu yang dikatakan bulan penuh berkah. Apakah ini hanya di Indonesia saja atau di semua negara dunia yang terdapat kaum muslim. Keyakinan saya pastilah bukan hanya di Indonesia saja namun di seluruh penjuru dunia. Konsep klasik teori ekonomi menjelaskan bahwa jika permintaan berlebih pasokan akan meningkat. Tentu saja dibarengin dengan harga barang akan mengikuti kenaikan jika permintaan lebih besar dari pasokan. Karena apa yang dikenal sebagai hukum ekonomi masih berlaku hingga saat ini. Terus bagaimana dengan bulan ramadhan. Seharusnya bulan ramadhan ini terjadi kebalikannya. Mengapa demikian, coba kita rasionalitaskan pemikiran kita. Dalam kondisi normal tidak sedang dalam kondisi bulan ramadhan, kita makan sehari 3x ditambah dengan keinginan yang lainnya bisa jadi lebih dari itu. Dibulan ramadhan seharusnya makan hanya 2 kali yaitu waktu sahur dan saat berbuka. Artinya ada penghematan sebesar 1x konsumsi. Nah itu yang dimaksud kebalikannya. Dari kondisi konsumsi lebih besar menjadi lebih kecil. Namun tidak terjadi demikian secara umum. kondisi di bulan ramadhan bisa dikatakan sebagai momen puncak konsumsi yang lebih besar, lebih banyak dan lebih boros. Umat muslim yang tidak faham akan hakikat berpuasa di bulan ramadhan justru menghabiskan anggaran lebih besar. Aksi borong barang menjadi tradisi di awal bulan ramadhan dan di akhir bulan ramadhan. Kaum hawa, seolah tidak mau ketinggalan akan momen belanja besar besaran dengan dalih untuk kebutuhan keluarga. Sungguh ini pemandangan yang kerap dijumpai dan seolah menjadi kondisi yang permisif dimaklumi dan dibenarkan. Membelanjakan harta di mall bukan menafkahkan harta untuk beramal.
Bulan ramadhan sebagai ladang beramal dan menempa diri. Mempersempit jalan setan didalam diri dengan berpuasa. Puasa makan minum nafsu. Puasa gosip ghibah prasangka buruk. Menjadikan bulan ramadhan sebagai tempat beramal bersedekah berbagi. Satu bulan penuh melakukan hal yang disunahkan dan diwajibkan menjadikan sebuah kebiasaan menjadi karakter yang mengakar dalam diri umat muslim. Aktifitas harian diisi dengan bersedekah, berdzikir yang muaranya menuju kepada ketajaman hati untuk bisa memilah dan memilih apa yang baik dan tidak baik, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat muslim yang kafah. Oleh karena itu saudaraku’ bulan ramadhan jadikan sebagai bulan untuk menafkahkan rezeki dijalan Allah SWT melalui Zakat, infak dan sadaqah. Zakat untuk mensucikan hati dan fikiran. Zakat dari kita dan untuk kita. Zakat bukan hanya bermanfaat bagi diri namun bagi lingkungan. Akhir tulisan ini saya katakan Zakat mal bukan zakat mall*. Keluarkan hartamu dijalan Allah SWT bukan sekedar untuk belanja.