Azka’..waduh; Zid tendang …
Saling mengejar dan berebut untuk menguasai bola. Teriakan, ketawa kadang diselingi dengan keluhan karena bola yang ditendang tak sesuai arah yang diharapkan. Hanya berdua memang, tapi kedengaran sangat ramai. Kegaduhan mereka tak sedikitpun membuar orang yang ada disekitarnya merasa terganggu. Kepolosan dan keceriaan yang terpancar dari wajah anak tak berdosa membuat siapa saja yang melihat ikut gembira. Akankah semua anak bangsa bisa merasakan seperti mereka berdua itu ?
Coba kawan lihat faktanya, di Surabaya misalnya, Kota besar dengan masyarakat urban dan dinamika kehidupannya acapkali memaksa anak tidak memiliki kesempatan untuk bersama teman dalam waktu lama. Hal ini karena sempitnya lahan bermain dan kehidupan orangtua, rumah tempat tinggal mereka yang kurang mengenal satu dengan lainnya. Sekedar mengenalkan anaknya untuk bertegur sapa adalah budaya yang kian surut. Dulu perkampungan dicirikan dengan semua orang saling kenal. sedangkan warga perumahan dikenal dengan egosentris, lebih utamakan individu. namun faktanya sekarang hampir sama tidak ada bedanya antara warga kampung dengan perumahan. Budaya individu, lebih mementingkan pemenuhan diri sendiri lebih mendominsasi.
Bertumbuh Raga & Jiwa
Gambaran keceriaan dua anak calon pemimpin Indonesia yang sedang bermain bola diatas adalah bukti nyata, bahwa anak perlu tempat, wadah untuk menggerakan raga. Ayunan lambaian kaki tangan, semburan nafas dan tetesan keringat, saling berteriak menyebut nama satu dengan lainya. Mereka adalah aset bangsa, mereka perlu tempat, perlu wadah. Sedangkan pertanyaanya, Apakah kita sudah berikan haknya, hanya sekedar tempat bermain saja. Saya sampaikan pada tulisan ini BELUM. Pemerintah belum hadir sepenuhnya untuk anak calon pemimpin Bangsa. Bukan menyalahkan pemerintah tapi kebijakan pemimpin yang saat ini ada masih mementingkan kepentingan kapitalis, pemilik modal. Buktinya apa?. Coba kawan dipersilhkan jalan-jalan ke pantai atau laut di Surabaya. Hanya sekedar mengajak anak untuk melihat Laut yang katanya milik negara tidak mudah aksesnya. Kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa Laut dan pantai sepanjang pesisir timur Surabaya tertutup oleh perumahan mewah. Kalaupun belum terutup bangunan, untuk masuk kewilayah yang dulunya bisa digunakan oleh petani tambak dan nelayan keluar masuk mencari ikan dari kampung menuju pantai harus melewati tanah yang sudah dikuasi segelintir manusia. Ini semua apa, ini semua ada pembiaran dari pemimpin pemerintahan yang memiliki aturan kalah sama sekompok manusia yang memiliki modal. Harusnya tidak boleh seperti itu. Bagaimana mungkin warga bisa menikmati kekayaan alam, jika hanya sekedar melihat pantai saja harus menembus birokrasi yang berdiri kokoh dan mengatasnamakan regency denga kota mandiri. ini benar benar kegilaan yang terus dibiarkan. Bagaimana dua anak manusia itu akan bisa melanjutkan permainan kehidupan jika hak-haknya sudah dirampas saat ini.
Dua anak itu, mungkin saja 20 tahun lagi sudah tumbuh dewasa menjadi orang yang siap mendobrak ketidak adilan dan itu yang akan kita harapkan. Kepemilikan aset yang memperbolehkan pribadi menguasai yang lain, sesungguhnya kebijakan pemimpin saat ini yang sudah mencederai cita-cita para pahlawan. Setuju atau tidak dengan tulisan ini, kawan semua monggo bisa dirasakan, terutama yang tinggal di Surabaya.
Semoga pemimpin negeri ini benar-benar memngerti bahwa anak bangsa perlu tempat, bahwa anak bangsa perlu wadah untuk bertumbuh dan berkembang.
Salam Harmoniz
JhD
Keren Bos Jhon…, smoga pemerintah kita makin peduli pd anak2…